Terimakasih untuk selalu tak perduli & mengacuhkan ku sekian tahun ini

Haruskah Aku Datang ?

Beberapa malam yang lalu, perempuan itu menghubungiku lagi. Seperti malam-malam sebelumnya. Perempuan yang selalu ku hormati,ku sayangi, dan selalu ku harapkan kebahagiaannya melebihi perempuan manapun yang pernah ku temui. Aku biasa memanggilnya mamah.

Malam itu beliau menghubungiku dengan kalimat pembuka yang tak langsung bisa ku pahami maksudnya.

"Yang sabar ya, insyaAllah pasti sudah disiapkan Nya pengganti yang lebih baik."

Sedikit terkejut namun lebih didominasi rasa penasaran, ada apa dan apa maksud dari isi pesan pendek itu. Butuh sepersekian detik untuk memahaminya.

Sepertinya ini tentang perempuan. Terlihat dari kalimat dan pengalaman sebelumnya. Beliau menilai bahwa aku masih putranya yang dulu yang akan mudah tumbang dan terbawa perasaan jika sosok perempuan yang diinginkan tak bisa dimiliki. Sekarang, hal yang demikian sudah jauh ku lewati.

"Maksudnya?" balas ku singkat.
"eL akan menikah tanggal 6 Februari bulan ini."


Aku tak membalasnya, Kembali tidur karena lelahku semalaman lembur. Namun tanpa ku sadari pesan pendek itu ikut merasuk dalam lelap tidurku. Membuka kembali tiap memori lama yang sudah tertumpuk, terendam dalam lautan ingatan, dan terlupakan hingga kembali mengambang mengingatkan siapa eL dan sebesar apa pengaruhnya dia di masa lalu.

"Eqi, sudah lupa Mah. Sudah lupa seperti apa rasanya. Sedang fokus untuk masa depan. Tapi kabar dari mamah cukup membangkitkan lagi kegamangan yang sudah susah payah Eqi lewati."

Masih selemah itukah aku dalam sudut pandang mu hingga harus dikuatkan seperti dulu? Aku sudah hampir tak perduli lagi tentangnya. Sudah merasa cukup tahu jika dia akan selalu baik-baik saja dan dijaga oleh Nya. Sudah banyak ku temui dan ku jalin kisah dengan sosok lain selain dirinya. Meski maksudnya baik, tapi bukan kekuatan yang kuterima. Justru kebimbangan. Namun, terimakasih Mah. Engkau sekedar ingin melakukan yang terbaik untuk putra mu yang memang penuh kekurangan ini.

Karenanya, aku menyukai komik lantas mulai menyukai menggambar. Karenanya, aku menyukai buku lantas mulai menyukai membaca. Hingga pada akhirnya mulai menulis bait-bait puisi untuknya. Tenggelam sendiri dalam khayalan tak berujung. Memendam rasa sendirian berbalut rasa rendah diri, pengecut, takut, harap, dan bodoh. Karenanya lah pula, aku berjuang memantaskan diri tuk mengimbangi siapa aku agar setidaknya sejajar dengan siapa dia. Namun sepertinya waktu menjadi saksi yang menggiring ku dalam kondisi yang tak kan pernah pantas untuknya.

Sudah hampir 7 tahun lebih berlalu. Haruskah aku datang? Meski undangan itu terbatas. Hikmah apa yang akan ku dapat jika ku paksakan datang? Aku tak menginginkan kekecewaan, apalagi merusak suasana nun khidmat dan suci nantinya, atau bahkan membuka luka lama yang kuciptakan sendiri karena telalu percaya diri dan arogan kala itu.

Jika nanti kuputuskan untuk datang. Semoga di sana Dia yang menciptakan rasa ini melihat, bahwa aku tak lari dari takdir Nya. Berusaha menghadapi dan melewatinya penuh dengan martabat hingga cahaya Nya pun diturunkan padaku. Ditutup Nya mata, terlinga, dan perasaanku namun tetap dibukakan Nya pikiranku agar aku tak tersesat dalam akal dan prasangka ku sendiri. Agar bisa ku melangkah lebih jauh. Melompat lebih tinggi. Melewati batas diri yang tak pernah terbayangkan. Melampaui perkiraan dan segala kelemahan diri yang selalu ku takutkan. Pada kebaikan.

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan & santun